Thursday, August 11, 2011

Unsaid

Aku berjalan keluar dari ruangan itu. Membawa buket bunga yang indah, baju putihku terjuntai ke bawah. Bajuku tidak panjang, hanya cukup panjang untuk menutupi sepatu tinggiku yang juga berwarna putih. Hari itu aku bahagia. Sangat bahagia.

***

Aku berjalan di sisinya, tersipu-sipu karena dia mau kuajak pergi berduaan saja bersamaku. Aku meminta ia menemaniku ke Mal. Dalihku, aku minta ditemani ke toko buku. Klise? Ya, biarlah. Bagus kalau dia langsung tau kalau aku menyimpan perasaan untuknya. Semalaman kemarin aku tidak tidur nyenyak. Hatiku terus berlomba, memikirkan apa yang akan aku lakukan, apa yang akan aku katakan padanya siang itu. Begini, aku mencoba untuk mengatakan padanya bahwa aku menyukainya. Tapi, aku... takut. Ya, wajar.

Tanpa sadar kami sudah sampai di toko buku yang kumaksud. Aku dan dia masuk, mencari buku yang aku inginkan (Hei, ini sungguhan, bukan dalih! Aku memang perlu buku itu.) dan segera membayarnya karena aku lihat dia tidak tertarik dengan buku-buku tersebut. Ia terlihat.. agak cemas? Aku tidak yakin. Kami keluar dari toko buku itu lalu aku bertanya padanya apakah ia mau makan siang dulu. Ia tidak langsung menjawab, tapi kemudian toh kami duduk makan juga di sebuah bistro.

Setelah kami menyelesaikan makanan kami, aku merasakan degup jantungku menjadi semakin cepat. Aku berkata pada diriku, "Inilah saatnya.", "Kalau bukan sekarang, kapan lagi.", dan sebagainya. Dan ternyata perkataan seperti itu bukannya menenangkanku, malah membuatku semakin tegang. Aku bisa merasakan ujung jari kakiku mendingin dibalik flat shoes tertutup yang kupakai. Begitu juga dengan telapak tanganku yang terasa berkeringat dingin. Akhirnya, setelah kami selesai bercanda, sesuatu keluar dari mulutku.

"Trey, kamu suka sama Naya, ya?" kata tiba-tiba. Aku sendiri kaget.
Trey dan Naya, dua-duanya temanku. Teman se-gengku. Kami bertujuh. Tapi belakangan ini aku selalu merasa kalau mereka saling suka. Dan itu membunuhku perlahan. Harusnya aku tidak menanyakan tentang Naya pada saat itu, harusnya aku menyatakan perasaanku padanya. Tapi... ah. Begitu banyak tapi.

Trey diam. Memperhatikan raut wajahku. 
Lalu ia bertanya, "Loh, kok tiba-tiba bilang begitu?"
"Heiii, kan aku duluan yang tanya.. Jangan tanya balik." balasku sambil tersenyum jahil.
Trey diam. Lagi. Ia mengangguk. Pelan. Tapi aku bisa melihatnya mengangguk.
"...Jangan bilang apa-apa ke Naya, ya. Tolong." katanya sambil tersenyum lemah.
Sekarang giliran aku yang diam.
Beberapa saat diisi dengan keheningan, hanya suara orang-orang yang lalu-lalang samar terdengar, sebelum akhirnya aku tertawa. 

Ya. Aku tertawa.

Trey melihatku bingung. Kemudian, ia pun ikut tertawa.
"Lah, sekarang malah ketawa." katanya di sela-sela tawanya yang manis. Tawa yang selalu ingin ku lihat untukku.
"Tuh kan.. Aku biasanya memang hebat dalam menebak hal-hal seperti ini." Kataku pura-pura bangga. Pura-pura gembira. Pura-pura.
Kami diam lagi untuk beberapa saat, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk menyudahi duduk-duduk kami dan berjalan ke mobil. Saat itu, aku berterima kasih pada Tuhan karena aku membawa mobilku sendiri.
"Jadi, kamu tidak mau bilang pada Naya.. ehm.. kalau kamu suka sama dia?" Kataku cepat. Tidak ada yang tau rasanya mengucapkan itu dari lidah sendiri.
Ia menggeleng.
"Tidak. Kurasa kami lebih baik berteman. Aku... Aku tidak akan bisa banyak bersamanya, kamu tau kan? Aku tidak mau dia terluka karena jarak." Katanya sendu. Sampai saat aku menulis ini, aku masih ingat wajahnya. Betapa terlukanya. Betapa sedihnya. Just like me.

Dibalik itu semua, aku tersenyum di depan.
"Trey, kamu mau menyerah cuma karena jarak? A wise man once said, you can close your eyes to the things you do not want to see, but you cannot close your heart to the things you do not want to feel. Jarak? Aku rasa jarak bukan sesuatu yang berarti kalau kau benar-benar sayang dia."
Trey melihatku. Ia memelukku. Untungnya ia tidak merasakan degup jantungku karena miliknya sibuk berdegup untuk wanita lain. Teman baikku.

Trey mengucapkan terima kasih padaku. Ia melihat dalam-dalam ke bola mataku, tapi tidak menemukan apapun di sana kecuali penguatan. Aku tau, sebab setelah itu ia langsung berlari meninggalkanku.

Aku masih berdiri di tempat itu. Orang yang lalu-lalang tidak memperhatikanku begitu rupa. Mungkin mereka mengira aku sedang melamun, menunggu seseorang. Ya, mereka tidak sepenuhnya salah. Aku memang sedang menunggu, menunggu Trey menghilang dari jarak pandangku. Menunggu. Menunggu. Menunggu kalau-kalau Trey berbalik dan menyatakan cinta kepadaku.

Tapi ia tidak pernah berbalik.

***

Jadi di sinilah aku. Berdiri di belakang para tamu yang menghadap ke altar, memegang buket bunga itu. Seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku berbalik.
Aku tersenyum melihatnya, melihat kebahagiaannya. Ia sungguh cantik hari ini.
Aku memberikan buket itu padanya, dan berjalan di belakangnya.

Seperti aku bilang tadi, hari ini aku sangat bahagia. Aku bahagia melihat dua orang yang kusayangi saling mencintai satu sama lain. Bahagia mengetahui bahwa aku yang telah menyatukan mereka.

Naya melihatku dari balik cadar pengantinnya. Tersenyum bahagia.
Trey melihatku dari altar, ia tersenyum. Ia bahagia.

Jadi aku juga tersenyum. Seolah aku juga.